Kamis, 29 Mei 2014

Bahaya vaksinasi / imunisasi
Definisi
Waktu saya masih duduk di bangku sekolah, saya menerima pelajaran tentang vaksin, tepatnya pada mata pelajaran biologi. Dalam pelajaran tersebut disebutkan bahwa vaksin berasal dari serum kuda. Pikir saya waktu itu, serum kuda kok dimasukin ke dalam tubuh manusia ya?
Umumnya masyarakat memahami imunisasi atau vaksinasi sebagai upaya perlindungan tubuh dari penyakit. Vaksin dianggap sebagai obat / vitamin yang bisa melindungi tubuh dari berbagai macam penyakit yang merugikan tubuh. Padahal sebenarnya vaksin mengandung komposisi yang sangat berbahaya bagi tubuh.
Vaksin berasal dari kata vaccinia, yakni penyebab infeksi cacar pada sapi. Secara umum vaksin adalah bahan yang berasal dari serum binatang, virus dan bakteri yang dilemahkan dan diyakini dapat menangkal penyakit serta merangsang daya tahan pada tubuh. Sebenarnya vaksinasi tak ada hubungannya dengan peningkatan daya tahan tubuh, mengingat fungsinya hanya merangsang atau memancing sejauh mana daya tahan tubuh seseorang. Biasanya yang dilakukan dalam vaksinasi untuk menguji daya tahan tubuh seseorang terhadap virus meningitis dengan memasukkan vaksin dari bibit penyakit meningitis. Untuk menguji daya tahan tubuh seseorang dari penyakit cacar dengan memasukkan vaksin dari bibit penyakit cacar, dan begitu pula untuk penyakit yang lain.
Bahan vaksin
Di Indonesia untuk vaksin polio biasanya digunakan enzim tripsin babi dan sel ginjal monyet. Untuk vaksin campak digunakan sel embrio ayam. Intinya bahan utama vaksin adalah kuman atau virus bakteri hidup atau mati, taksoid atau DNA dengan tambahan bahan tertentu seperti alumunium (unsur logam), benzotonium klorida (bahan pengawet), etelien glikol (anti beku), formalin (untuk pembalseman, fungisida, inteksida dalam pembuatan bahan peledak dan kain), gelatin (pemicu alergi), glutamat, neomycin, fenol (tar batubara), streptomisin, timerosal (pengawet yang mengandung 50 % merkuri / air raksa), ammonium sulfat, ampotericin B, kasein, dan sebagainya.
Melihat bahan-bahan di atas, kesemuanya sangat berbahaya jika dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Saya teringat dengan perkataan kawan saya “tubuh kita ini bukan laboratorium kimia, jika dimasuki unsur kimia bagaimana jadinya tubuh?”. Saya juga membayangkan betapa malangnya bayi-bayi mungil yang telah diimunisasi.
Efektifitas vaksin
Ada analogi / kiasan unik untuk vaksinasi atau imunisasi, yaitu ketika kita ingin mengetahui daya tahan suatu kampung terhadap premanisme dilakukan dengan cara mengirim preman terlatih ke kampung itu. Bila daya tahan kampung baik, maka preman tersebut dapat diusir dan dilimpuhkan. Namun bila pertahanan kampung kurang baik preman tersebut akan mendekam / berdiam diri menunggu reaksi. Celakanya bila pertahanan kampung tersebut buruk, bahkan banyak bibit-bibit preman, maka preman yang dikirim bisa dengan mudah mempengaruhi bibit preman dan bekerja sama merusak kampungnya sendiri.
Banyak jenis vaksin mulai dari balita sampai dewasa, antara lain mulai usia bayi 0 - 1 minggu diberikan vaksin hepatitis ketika 2 jam kelahiran, 1 minggu - 3 bulan diberikan vaksin BCG, DPT I - DPT V, hepatitis I – III, polio I – IV, usia 1 tahun vaksin campak, usia 1 – 3 tahun diberi vaksin MMR (Measles / campak, Mumps / gondong, Rubella / campak Jerman), usia kelas VI SD diberi vaksin DPT VI. Sedangkan bagi dewasa diberlakukan vaksin anti kanker servik, vaksin TT (Tetanus Toxoid) untuk ibu hamil, vaksin meningitis untuk ibu hamil, vaksin meningitis untuk calon jamaah haji, vaksin rabies, pneumococcus, smallpox, influenza, demam tifoid, cacar air, hepatitis A dan lainnya.
Faktanya, jika kita perhatikan walaupun sudah banyak diberlakukan praktek imunisasi seperti di atas tapi masih saja banyak yang terkena penyakit. Saya sendiri waktu SD pernah disuntik imunisasi cacar dua kali, buktinya waktu SMP saya malah terkena cacar.
Solusi
Apa kita tega memasukkan racun atau unsur berbahaya di atas ke dalam tubuh kita sendiri atau bayi-bayi kita sementara mereka tak pernah menolak apapun yang akan dimasukkan ke dalam mulutnya atau disuntikkan ke tubuhnya? Bagaimana dengan masa depannya? Di samping itu apakah racun merupakan media yang tepat dan dibenarkan untuk menjaga kesehatan atau meningkatkan daya tahan tubuh?
Ternyata Qur’an dan Sunnah telah merekomendasikan bahan-bahan dan metode pengobatan yang sangat cocok dan sesuai dengan tubuh manusia. Bacaan Qur’an, puasa, bekam, madu (penguat sistem daya tahan tubuh alami), kurma (peningkat trombosit alami), habbatussauda’ (penguat daya tahan tubuh alami), bawang putih (antibiotik alami) dan sebagainya. Semua itu tersebut adalah obat dan jelas meningkatkan system kekebalan tubuh.
Untuk itu, selayaknya kita melindungi diri kita, anak-anak, orang tua, dan keluarga kita dari makanan dan obat-obatan berbahaya dan beralih kepada yang lebih halal dan diridhoi supaya tercipta manusia-manusia yang berkualitas jasmani dan rohaninya.
Referensi:

Tabloid Bekam Edisi 4 (cetakan ke-7) TH.II/2012.

Kamis, 21 Juli 2011

Political comitment pemerintah yang minim realisasi

Political comitment pemerintah yang minim realisasi
Bangsa Indonesia yang dalam periode ini dipimpin oleh SBY dianggap failed oleh sebagian kalangan. Misalnya oleh kalangan tokoh lintas agama yang tahun 2010 lalu mengungkapkan dan mempublikasikan beberapa kebohongan pemerintah atas dasar political comitment pemerintah yang tidak ada realisasinya. Mulai dari masalah pengentasan kemiskinan, pengerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dll. Namun, bukannya menginsyafi kesalahan yang dilakukan, pemerintah malah tidak terima dan berargumen ini itu untuk menutup-nutupi kesalahan mereka dengan dalih tiada manusia yang sempurna.
Belum lagi Penegakan hukum yang amburadul dan pengambilan kebijakan publik yang tidak tegas, maka tidaklah heran jika banyak kasus-kasus yang membelit para aparatur negara dari semua level baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Akibatnya, legitimasi rakyat terhadap pemerintah semakin tergerus, khususnya kepada oknum penegak hukum. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan hukum yang diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan mengabaikan proses hukum. Parahnya masyarakat pun berani menyerang kepolisian seperti yang terjadi di Sumatra Utara, masyarakat sudah berani main hakim sendiri terhadap Jemaat Ahmadiyah, dan masih banyak lagi bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dari sini jelaslah sudah bahwa political comitment pemerintah terhadap rakyat yang pernah dinyatakan pada awal-awal periodenya hanya sebagai isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, janji-janji yang pernah dilontarkan belum ada realisasinya sama sekali.
Mendambakan Reformasi yang sesungguhnya
Jika dilihat dengan teliti, permasalahan negeri ini tampaknya mendekati level yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, pemerintah sudah tidak memegang komitmen politiknya kepada rakyat sehingga banyak terjadi korupsi dari semua lini, mulai dari kalangan para politisi, birokrat (administrasi pemerintahan) dan kalangan penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa). Legitimasi rakyat kepada pemerintah pun tergerus seiring dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian, agaknya perlu ada relisasi janji pemerintah untuk mereformasi ketiga ranah kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), karena ketiganya saling terkait dan saling ceck and balance. Dalam hal ini yang perlu pertama kali untuk di-reform adalah ranah hukum, sebab jika hukumnya sudah steril maka reformasi seluruh birokrasi akan mudah untuk dilakukan.
Untuk reformasi di ranah hukum bisa dimulai dari proses rekruitmennya. Sebaiknya pemilihan oknum penegak hukum harus lebih diperketat lagi dengan diadakannya tes kompetensi iman dan taqwa untuk menghasilkan para polisi yang jujur, jaksa yang bijak dan hakim yang adil. Sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh mafia-mafia yang suka menginjak-injak kehormatan hukum kita.
Proses rekruitmen seperti ini nampaknya juga harus diterapkan kepada ranah politik, supaya menghasilkan politisi-politisi yang mempunyai idialisme yang tidak menomorsatukan nafsu semata, sehingga kursi-kursi parlemen diisi oleh orang-orang yang berkomitmen tinggi terhadap rakyat.
reformasi hanya sebagai wacana
Pertengahan tahun 2010 lalu PERC (Political and Economic Risk Consultansy) menempatkan Indonesia sebagai negara Asia terburuk kedua dalam sistem birokrasi. Berdasarkan hasil survei yang melibatkan lebih dari 1300 eksekutif asing atau ekspatriat itu, PERC berkesimpulan birokrasi Indonesia di bawah kekuasaan presiden SBY ini tidak efektif, berbelit-belit dan rawan praktik korupsi. Meski memiliki mandat yang cukup kuat dari rakyat namun presiden SBY kurang memiliki kekuatan untuk benar-benar mengubah sistem birokrasi Indonesia
Tentunya dalam kondisi pemerintahan yang seperti ini kita pasti mengiyakan hasil survei PERC tersebut. Pasalnya semenjak kampanye pemilu sebelum ia menjadi presiden, SBY selalu menekankan pentingnya melakukan perubahan mendasar dengan cara melakukan reformasi birokrasi pemerintahan. Namun ketika ia sudah menjadi presiden, sejauh ini hal itu hanya sebatas retorika belaka karena tidak terealisasikan dengan baik. Buktinya masih banyak oknum-oknum aparatur negara yang (tidak perlu disebutkan namanya satu-persatu) terbelit berbagai kasus hukum, mulai dari korupsi, suap dll. Tidak hanya itu, keseriusan para penegak hukum untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus-kasus itu juga tidak ada, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus yang hilang begitu saja dan tidak ada tindak lanjutnya lagi.
Tak pelak para analis negeri ini melontarkan beberapa kritikan pedas kepada pemerintahan sebagai bentuk ketidak puasaan publik selama ini.
Terlena dengan politik pencitraan
Dalam keaadan tersudut oleh berbagai kritikan eksternal, pemerintah berupaya memperbaiki nama baiknya di mata masyarakat dengan kesigapan untuk memberantas terorisme yang memang sudah menjadi langganan untuk meresahkan masyarakat. Mulai dari penangkapan orang-orang yang dituduh menyebarkan bom buku, sampai kepada penangkapan Abu Bakar Ba’asyir yang berujung pada vonis 15 tahun penjara untuknya.
Namun politik pencitraan itu nampaknya sedikit menimbulkan kejanggalan. Pemerintah terkesan hanya sigap ketika ada kasus terorisme saja, tapi jika ada kasus yang menyangkut aparat negara, pemerintah bersikap lamban dan bahkan cenderung melindungi. Seharusnya pemerintah dapat bersikap lebih bijak, jika ingin citranya baik ya tepati janji dan tingkatkan kinerja. Jangan hanya ingin dipuji oleh rakyat.