Kamis, 21 Juli 2011

Political comitment pemerintah yang minim realisasi

Political comitment pemerintah yang minim realisasi
Bangsa Indonesia yang dalam periode ini dipimpin oleh SBY dianggap failed oleh sebagian kalangan. Misalnya oleh kalangan tokoh lintas agama yang tahun 2010 lalu mengungkapkan dan mempublikasikan beberapa kebohongan pemerintah atas dasar political comitment pemerintah yang tidak ada realisasinya. Mulai dari masalah pengentasan kemiskinan, pengerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dll. Namun, bukannya menginsyafi kesalahan yang dilakukan, pemerintah malah tidak terima dan berargumen ini itu untuk menutup-nutupi kesalahan mereka dengan dalih tiada manusia yang sempurna.
Belum lagi Penegakan hukum yang amburadul dan pengambilan kebijakan publik yang tidak tegas, maka tidaklah heran jika banyak kasus-kasus yang membelit para aparatur negara dari semua level baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Akibatnya, legitimasi rakyat terhadap pemerintah semakin tergerus, khususnya kepada oknum penegak hukum. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan hukum yang diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan mengabaikan proses hukum. Parahnya masyarakat pun berani menyerang kepolisian seperti yang terjadi di Sumatra Utara, masyarakat sudah berani main hakim sendiri terhadap Jemaat Ahmadiyah, dan masih banyak lagi bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dari sini jelaslah sudah bahwa political comitment pemerintah terhadap rakyat yang pernah dinyatakan pada awal-awal periodenya hanya sebagai isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, janji-janji yang pernah dilontarkan belum ada realisasinya sama sekali.
Mendambakan Reformasi yang sesungguhnya
Jika dilihat dengan teliti, permasalahan negeri ini tampaknya mendekati level yang mengkhawatirkan. Betapa tidak, pemerintah sudah tidak memegang komitmen politiknya kepada rakyat sehingga banyak terjadi korupsi dari semua lini, mulai dari kalangan para politisi, birokrat (administrasi pemerintahan) dan kalangan penegak hukum (polisi, hakim dan jaksa). Legitimasi rakyat kepada pemerintah pun tergerus seiring dengan berjalannya waktu.
Dengan demikian, agaknya perlu ada relisasi janji pemerintah untuk mereformasi ketiga ranah kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), karena ketiganya saling terkait dan saling ceck and balance. Dalam hal ini yang perlu pertama kali untuk di-reform adalah ranah hukum, sebab jika hukumnya sudah steril maka reformasi seluruh birokrasi akan mudah untuk dilakukan.
Untuk reformasi di ranah hukum bisa dimulai dari proses rekruitmennya. Sebaiknya pemilihan oknum penegak hukum harus lebih diperketat lagi dengan diadakannya tes kompetensi iman dan taqwa untuk menghasilkan para polisi yang jujur, jaksa yang bijak dan hakim yang adil. Sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh mafia-mafia yang suka menginjak-injak kehormatan hukum kita.
Proses rekruitmen seperti ini nampaknya juga harus diterapkan kepada ranah politik, supaya menghasilkan politisi-politisi yang mempunyai idialisme yang tidak menomorsatukan nafsu semata, sehingga kursi-kursi parlemen diisi oleh orang-orang yang berkomitmen tinggi terhadap rakyat.
reformasi hanya sebagai wacana
Pertengahan tahun 2010 lalu PERC (Political and Economic Risk Consultansy) menempatkan Indonesia sebagai negara Asia terburuk kedua dalam sistem birokrasi. Berdasarkan hasil survei yang melibatkan lebih dari 1300 eksekutif asing atau ekspatriat itu, PERC berkesimpulan birokrasi Indonesia di bawah kekuasaan presiden SBY ini tidak efektif, berbelit-belit dan rawan praktik korupsi. Meski memiliki mandat yang cukup kuat dari rakyat namun presiden SBY kurang memiliki kekuatan untuk benar-benar mengubah sistem birokrasi Indonesia
Tentunya dalam kondisi pemerintahan yang seperti ini kita pasti mengiyakan hasil survei PERC tersebut. Pasalnya semenjak kampanye pemilu sebelum ia menjadi presiden, SBY selalu menekankan pentingnya melakukan perubahan mendasar dengan cara melakukan reformasi birokrasi pemerintahan. Namun ketika ia sudah menjadi presiden, sejauh ini hal itu hanya sebatas retorika belaka karena tidak terealisasikan dengan baik. Buktinya masih banyak oknum-oknum aparatur negara yang (tidak perlu disebutkan namanya satu-persatu) terbelit berbagai kasus hukum, mulai dari korupsi, suap dll. Tidak hanya itu, keseriusan para penegak hukum untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus-kasus itu juga tidak ada, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kasus yang hilang begitu saja dan tidak ada tindak lanjutnya lagi.
Tak pelak para analis negeri ini melontarkan beberapa kritikan pedas kepada pemerintahan sebagai bentuk ketidak puasaan publik selama ini.
Terlena dengan politik pencitraan
Dalam keaadan tersudut oleh berbagai kritikan eksternal, pemerintah berupaya memperbaiki nama baiknya di mata masyarakat dengan kesigapan untuk memberantas terorisme yang memang sudah menjadi langganan untuk meresahkan masyarakat. Mulai dari penangkapan orang-orang yang dituduh menyebarkan bom buku, sampai kepada penangkapan Abu Bakar Ba’asyir yang berujung pada vonis 15 tahun penjara untuknya.
Namun politik pencitraan itu nampaknya sedikit menimbulkan kejanggalan. Pemerintah terkesan hanya sigap ketika ada kasus terorisme saja, tapi jika ada kasus yang menyangkut aparat negara, pemerintah bersikap lamban dan bahkan cenderung melindungi. Seharusnya pemerintah dapat bersikap lebih bijak, jika ingin citranya baik ya tepati janji dan tingkatkan kinerja. Jangan hanya ingin dipuji oleh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar